*JIKA BATIN TERASA BERJARAK DENGAN PASANGAN*
By M. Nadhif Khalyani
_Bismillah, wash sholaatu was salaamu ‘alaa Rasulillah_
سنن الترمذي ١٠٨٢: حدثنا أبو كريب حدثنا عبدة بن سليمان عن محمد بن عمرو حدثنا أبو سلمة عن أبي هريرة قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم خلقا
قال وفي الباب عن عائشة وابن عباس قال أبو عيسى حديث أبي هريرة هذا حديث حسن صحيح
Sunan Tirmidzi 1082: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.
Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.”
?Abu Isa berkata: “Hadits semakna diriwayatkan dari Aisyah dan Ibnu Abbas.” Dia menambahkan: “Hadits Abu Hurairah merupakan hadits hasan sahih.”)
Hadits ini bercerita tentang kualitas diri sesorang.
Hadits ini memberikan sudut pandang tentang cara melihat dan menilai diri.
Nabi tidak mengkaitkan kebaikan seseorang pada penilaian orang lain, tetapi justru dari penilaian keluarganya sendiri.
Ini penilaian terbaik dan adil.
Menjadi baik itu bukan hanya menjadi baik dihadapan orang lain.
Tetapi menjadi baik itu, jika saat kita bisa menjadi baik dihadapan keluarga sendiri.
Dihadapan orang lain, kita bisa tampil _by designed._ Kebanyakan orang bisa mengendalikan diri di hadapan orang lain, tetapi gagal saat di keluarganya
Di hadapan keluarga, kita cenderung akan tampil apa adanya. Disana kita bisa marah, sedih, teriak, atau sikap apapun.
Maka tampilan kita sesungguhnya adalah di hadapan keluarga.
Sejenak, coba tanyakan pada diri sendiri, kira-kira apa kesan istri, suami, atau anak tentang diri kita…?
Disitulah kita temukan jawaban gambaran tentang diri kita.
Persolannya kemudian, apakah kita mau menjadi “orang baik” seperti ini?
Karena menjadi baik seperti dalam hadits ini, artinya kita harus mau pula menjaga resiko-resikonya.
Resiko? Iya.
Karena, saat kita di rumah, kita punya peran begitu banyak. Dan setiap peran itu punya konsekuensinya.
Resiko itu, salah satunya, semua orang yang terkait dengan peran itu, akan ikut merasakan dampak peran peran kita.
Mari kita detailkan….
Sebagai suami, Anda punya peran sebagai suami, pendamping istri.
Sebagai ayah, Anda punya peran yang terkait dengan anak
Sebagai anak, Anda punya peran terkait dengan orang tua dan mertua.
Dan peran lainnya…
Semua peran ini melekat pada diri seorang suami secara bersamaan, tanpa bisa dihindari. Ini konsekuensi yang otomatis ada. Dan kita tidak bisa memilih atau meninggalkan salah satu dari peran-peran itu.
Atau, tidak bisa pula, kita memilih untuk mengutamakan satu peran, dan menomorduakan peran lainnya
Menjadi baik dalam semua peran itu memang tidak mudah, namun disitulah letak kemuliaan diri laki-laki.
Maka tidak mengherankan jika Nabi menyebut sebaik baik kita adalah yang paling baik pada istri dan keluarga. Karena peran ini benar-benar tidak sederhana.
Mengapa tidak sederhana? Karena peran-peran pasca pernikahan itu memang kompleks. Tidak sesederhana seperti saat kita masih sendiri atau bujang dahulu.
Misalnya,…
_Jika kita tidak menjadi suami yang baik…. maka ada istri yang akan terabaikan, atau terdholimi_
_Jika suami mendidik anak dan istri dengan cara salah, maka anak dan istri bisa tumbuh dengan cara yang salah pula._
_Jika kita tidak menjadi ayah yang baik,….maka ada hak anak yang akan terabaikan atau bahkan terjadi kedholiman._
Jadi saat seorang laki-laki telah menjadi suami dan ayah, maka apapun yang ia lakukan akan berdampak pada orang disekitarnya.
Baik dan buruknya, sikapnya, perilakunya, akan ada yang merasakan efeknya.
_Saat masih membujang, ia meninggalkan sholat, resiko ia sendiri yang menanggung. Tetapi setelah menjadi ayah, ada resikonya. Anaknya dan istrinya akan mencontoh. Atau setidaknya menjadi pemicu konflik._