Membangun Kesadaran Diri Yang Asasi
By M. Nadhif Khalyani
Mari sejenak merenungi sebuah fragmen kehidupan dari seorang nabi teladan, Nuh AS
_Bismillah_
_Air bah itu memisahkan keduanya._
_Sang anak tenggelam digulung ombak …..hilang dari pandangan mata lelaki tua yang mulia itu. Matanya basah_
Ia telah _‘memilih’ jalan hidupnya sendiri,_ dan tidak mau beriman kepada seruan sang ayah, Nabi Nuh _‘Alaihissalam…_
قَالَ سَاٰوِيْۤ اِلٰى جَبَلٍ يَّعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَآءِ قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia (anaknya) menjawab, _Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!_
(Nuh) berkata, Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah Yang Maha Penyayang.
Dan _gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya_, maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.”
(QS. Hud 11: Ayat 43)
Ibnu Katsir menjelaskan ‘situasi batin’ Nabi Nuh dengan sangat benderang.
Beliau mengatakan :
Sebuah permintaan yang penuh dengan _rasa berserah diri dan kejujuran_ dari Nuh ‘alaihissalam tentang keadaan anaknya yang ditenggelamkan:
{فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي}
Nuh berkata, “Ya Tuhanku, _sesungguhnya anakku termasuk keluargaku.”_ (Hud: 45)
Maksud ayat Ini, kata Ibnu Katsir,
_…. bukankah Engkau telah menjanjikan kepadaku keselamatan seluruh keluargaku, dan janji-Mu adalah benar, tidak akan diingkari; maka *mengapa Engkau menenggelamkannya.*_
Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.
{قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ}
Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu.” (Hud: 46)
_yang telah Aku janjikan keselamatan mereka, karena sesungguhnya Aku hanya menjanjikan kepadamu keselamatan orang-orang yang beriman saja dari kalangan keluargamu._
Allah “menyanggah dan menasihati” Nabi Nuh ‘Alaihissalam
قَالَ يٰـنُوْحُ اِنَّهٗ لَـيْسَ مِنْ اَهْلِكَ اِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْـئَــلْنِ مَا لَـيْسَ لَـكَ بِهٖ عِلْمٌ اِنِّيْۤ اَعِظُكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ
“Dia (Allah) berfirman, Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu _jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”_
(QS. Hud 11: Ayat 46)
Nabi Nuh pun seketika menyadari dan berdoa
قَالَ رَبِّ اِنِّيْۤ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اَسْـئَلَكَ مَا لَـيْسَ لِيْ بِهٖ عِلْمٌ وَاِلَّا تَغْفِرْ لِيْ وَتَرْحَمْنِيْۤ اَكُنْ مِّنَ الْخٰسِرِيْنَ
“Dia (Nuh) berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.”
(QS. Hud 11: Ayat 47)
Hfffff…….mari berhenti sejenak dan raba batin kita. Apa yang sebenarnya Alloh ingin ajarkan pada kita ?
.
.
.
Sahabat …
Harapan kita terkadang membuat kita mempertanyakan _”mengapa harus begini”_..
Harapan itu bekerja tidak menurut kehendak dan ilmu kita, tetapi bekerja menurut kehendak dan Ilmu Alloh.
Harapan tidak selamanya sesuai dengan kenyataan. Karena yang akan menjadi nyata adalah apa yang Alloh kehendaki dengan ilmu dan hikmah yang sempurna.
Keresahan kita terjadi, karena kita merasa harapan kita-lah yang terbaik dan paling benar.
Keresahan itu terjadi karena kita tidak mau menyadari bahwa ilmu Alloh jauh lebih sempurna sedangkan pengetahuan kita tidak sempurna.
Keresahan kita sering terjadi karena kita bersandar pada “ilmu” kita, dan tidak bersandar pada Ilmu Alloh
*Demikianlah tabiat harapan itu, ia tidak selalu harus menjadi nyata*.
Yang “harus menjadi nyata” adalah Ilmu NYA, kehendakNYA, karena dalam ketetapannya itu ada hikmah yang mulia.
Maka Allah berfirman:
قِيْلَ يٰـنُوْحُ اهْبِطْ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَبَرَكٰتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰۤى اُمَمٍ مِّمَّنْ مَّعَكَ وَاُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ ي